Sejarah Islam & Perjuangan di Minahasa – Sulawesi Utara

Posted: November 19, 2012 in ULAMA ASWAJA PEJUANG NKRI


Agama Islam yg pertama kali masuk di Minahasa, masuknya Agama Islam pada tahun 1525 melalui BELANG, dibawah oleh orang-orang Bolaang Mongondow. Kemudian lebih berkembang karena datangnya pejuang-pejuang kemerdekaan yg dibuang/ditawan oleh penjajah Belanda, antara lain Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, bersama pengikutnya. Kemudian masuk Agama Kristen yang dibawa penjajah busuk melalui Manado tua pada tahun 1563 dibawah oleh Pater Diogo Magelhaens. Selanjutnya tahun 1569 datanglah Pater Blas Polonimo, tahun 1639 dan 1621 masuk pula Pater-Pater dari Portugis dan Spanyol.

Agama Protestan dimasukkan oleh Kompeni Belanda, kemudian perkembangannya setelah kedatangan Pendeta-Pendeta dari NZG, dimana peran dari Pendeta J.G.Riedel dan J.J Schwars sangat besar didalam memajukan agama Kristen ini, melalui system penginjilannya (Zending).

Agama RK ( Roma Katolik ), mulai masuk tahun 1643 namun 2 (dua) Abad lamanya RK tidak berkembang, nanti pada tahun 1855 Misi Pastor Gaspar de Masele baru mulai berkembang, dan pada tahun 1868 Pastor de Vries datang lagi ke Minahasa Pastor Mgr.Van Velson mendirikan sekolah Kweckschol RK di Woloan.
Kyai Modjo Di Tondano – Minahasa

Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 dan kemudian menjadi guru agama Pajang dekat Delanggu, Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah.

Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, yang merupakan seorang ulama dusun tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (perdikan / swatantra) Raja Surakarta kepada beliau. Belum diketahui latar belakang keluarga beliau, kecuali menurut suatu sumber (Babcock, 1989) Iman Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibu Kyai Modjo adalah saudara perempuan HB III, dan dengan demikian ditinjau dari hubungan kekerabatan Kyai Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai Modjo (R.A Mursilah bersepupu dengan Pangeran Diponegoro.

Meskipun ibunya seorang ningrat kraton, Kyai Modjo dibesarkan di luar kraton. Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan menetap di sana selama beberapa waktu (Ali Munhanif, 2003) Kyai Modjo kemudian memimpin satu pesantren di negeri Modjo.

Kyai modjo menikah dengan R.A Mangubumi (Babcock, 1989), janda cerai dari Pangeran Mangkubumi – paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Modjo dengan sebutan “paman”, meskipun dari garis ayah Kyai modjo adalah “kemenakan” Pangeran Diponegoro (ibu Kyai modjo (R.A Mursilah) adalah sepupu Pangeran Diponegoro).

Kyai Mojo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kyai Syarifudin di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia berguru kepada kyai di Ponorogo. Disinilah Kyai Mojo mendapatkan pengajaran tentang ilmu kanuragan. Sejak saat itulah beliau terkenal akan kesaktiannya, di samping terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya. Ia termasuk salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono VIPB VI).

Sepeninggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di (pesantren) Modjo di mana banyak putra dan putri dari Kraton SoloKraton Yogyakarta (baca Pangeran Diponegoro) kemungkinan membuat Pangeran Diponegoro memilih Kyai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.

Dekadensi moral yang terjadi di kraton kemudian berimbas pada kehidupan masyarakat luas semakin menderita, telah menjadi sebab keluarga Iman Abdul Ngarip, khususnya Muhammad Muslim (Kyai Modjo) beserta saudara-saudaranya (Kyai Khasan Mochammad, Kyai Khasan Besari, dan Kyai Baderan) dan masyarakat luas mengangkat senjata menentang Belanda.

Setelah di tangkap oleh Belanda pada 17 Nopember 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo dibawa ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano – Minahasa (Sulawesi Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.

Ikut bersama beliau dalam pengasingan di Tondano adalah satu putranya (Gazaly), 5 orang kerabat dekat – ada pertalian darah (Tumenggung Reksonegoro Kyai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso Pulukadang, dan Kyai Baderan/Kyai Sepuh) serta lebih dari 50 orang pengikut lainnya yang semuanya laki-laki. Istri beliau menyusul ke Tondano setahun kemudian.

Kecuali Kyai Modjo, hampir semua pengikutnya menikah dengan wanita Tondano (Tombokan, Walalangi, Tumbelaka, Rumbayan, dan lain-lain) dan dari perkawinan ini lahir beberapa keluarga yang dewasa ini dikenal dengan nama keluarga (marga atau fam) antara lain “Pulukadang”, “Modjo”, “Baderan”, “Zess”, “Kyai Demak”, “Suratinoyo”, “Nurhamidin”, “Djoyosuroto”, “Sutaruno”, “Kyai Marjo”, dan lain-lain.

Kyai Modjo merupakan pendiri Kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi cikal bakal masuknya Agama Islam di Minahasa. Di Tondano beliau menyalurkan ilmu kesaktiannya (yang dipelajarinya di Ponorogo) kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri dan kemudian menjadi cikal bakal pencak silat.

Makam Kyai Modjo terletak disebuah bukit di Kampung Jawa Tondano. Disamping makamnya, terdapat juga makam dari para pengikutnya yang kini menjadi salah satu obyek tujuan wisata di Kabupaten Minahasa – Provinsi Sulawesi Utara (Sulut),-

Pejuang Islam yg terasing di tanah minahasa

Banyak yang tidak mengetahui, di ujung utara pulau sulawesi dimana mayoritas penduduknya beragama non-muslim terdapat Oase terakhir para pejuang-pejuang islam yang diasingkan oleh penjajah karena perjuangan mereka pada Abab ke-18 dalam menegakkan syariat islam dan melawan penindasan oleh penjajah pada masa itu.

Mereka berasal dari daerah yang sekarang ini disebut Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumtera Utara (Aceh). Meskipun total jumlah mereka tidak sebanyak kelompok Kyai Modjo yang telah diasingkan sebelumnya, namun keberadaan mereka di Oase terakhir yang sekarang disebut Kampung Jawa Tondano yang terletak di tengah kota Tandano, kab.Minahasa, Sulawesi Utara telah turut mempengaruhi budaya masyarakat kampung Jawa Tondano dikemudian hari.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat perjuangan para pendahulunya dan tidak ada salahnya para pejuang-pejuang terasing yang mungkin kurang dikenal ini kita kenang sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka dan semoga menjadi suri teladan buat anak cucu kita nantinya agar perjuangan tidak berhenti untuk menegakkan syariat islam dan membangun bangsa ini.

Para pejuang yang diasingkan ke Kampung Jawa Tondano setelah Kyai Modjo tersebut adalah:

Tahun 1846 : Kyai Hasan Maulani (Asal Lengkong Cirebon)

Pada seperempat abad 18 tarekat syattariyah adalah tarekat yang paling tersebar luas di daerah Banyumas. Diperkirakan, tarekat ini bersumber dari murid-murid Syekh Abdul Mukhyi, Garut, seorang mursyid tarekat Syattariyah yang mendapatkan ijazah irsyad-nya dari Syekh Abdurrauf Singkel, Aceh. Di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat lain, seperti Rifaiyah dan Naqsabandi-Qodiriyah. Tarekat ini dikenal dengan nama tarekat Akmaliyah/Kamaliyah. Kyai Hasan Maulani adalah guru sekaligus pendiri tarekat Akmaliyah di Cirebon.

Mendasarkan pada studi Drewes, Bruinessen dan Steenbrink menyatakan bahwa Akmaliyah merupakan tarekat yang kental dengan ajaran wahdatul wujud dan sinkretisme Jawa.

Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah menakutkan penguasa saat itu. Hal ini mendorong Belanda membuang Kyai Hasan Maulani ke Tondano pada tahun 1846.

Tahun 1848 : Pangeran Ronggo Danupoyo (Asal Surakarta Jawa tengah)

Pangeran Ronggo Danupoyo adalah anak dari Pangeran aryo Danupoyo atau cucu dari Sunan Pakubuwono IV di Surakarta Jawa Tengah. Beliau menentang kebijakan Belanda, dank arena itu ia dibuang ke Tondano. Di kampung Jawa Tondano Ronggo Danupoyo menikah dengan putri dari Suratinoyo dan memperoleh 6 orang anak, satu anaknya kembali ke Jawa sedangkan 5 anaknya yang lain (2 laki dan 3 perempuan) tetap tinggal di kampong Jawa Tondano. Dari 2 orang anak laki-lakina (Raden Glemboh dan Raden Intu) menurunkan keluarga (fam) Danupoyo sekarang ini.

Tahun 1850-an : Imam Bonjol (Asal Sumatra Barat)

Peto Syarif yang kemudian lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol dilahirkan pada tahun 1772 di Kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman Sumatra Barat. Ia dilahirkan dalam lingkungan agama. Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian daribeberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pendiri negeri Bonjol. Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan Padri di Sumatra, yang pada mulanya menentang perjudian, adu ayam, penggunaan opium, minuman keras, tembakau, dll., tetapi kemudian mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, yang mengakibatkan perang Padri (1821-1838).

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berhasil diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Di sana Tuanku Imam Bonjol wafat tanggal 6 Nopember 1864 dalam usia 92 tahun, dikebumikan di Desa Lotak Pineleng berjarak 25 km dari Tondano ke arah Manado.

Bebrapa pengikut Imam Bonjol kemudian menikah dengan wanita kampung Jawa Tondano adalah; Malim Muda (menikah dengan cucu Kyai Demak), Haji Abdul Halim (menikah dengan Wonggo-Masloman), Si Gorak Panjang (menikah dengan putri Nurhamidin), dan Malim Musa. Dari (diantara) mereka menurunkan keluarga (fam) Baginda di Minahasa dewasa ini.

Tahun 1861 : K.H. Ahmad Rifa’i (Asal Kendal, Jawa Tengah)

Kiai Haji Ahmad Rifai dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau1786 di desa Tempuran Kabupaten Semarang. Beliau sorang ulama keturunan Arab, memimpin suatu pesantren di Kendal Jawa Tengah. Setelah beberapa kali keluar masuk penjara Kendal dan Semarang karena dakwahnya tegas, dalam usia 30 tahun.

Tahun 1272 H ( 1856 ) adalah merupakan tahun permulaan krisis bagi gerakan Kiai Haji Ahmad Rifai . Hal ini disebabkan hampir seluruh kitab karangan ( dan Hasil tulisan tangan beliau ) disita oleh pemerintah Belanda , disamping itu para murid dan Ahmad Rifai sendiri terus – menerus mendapat tekanan Belanda . Sebelum Haji Ahmad Rifai diasingkan dari kaliwungu Kendal Semarang , tuduhan yang dikenakan hanyalah persoalan menghasut pemerintah Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifai dipenjara beberapa hari di Kendal , Semarang dan terakhir di Wonosobo .

Tahun1859 Ahmad Rifa’i diasingkan Belanda ke Ambon, kemudian diasingkan lagi ke Tondano pada tahun 1861 bergabung dengan group Kyai Modjo. Di Kampung Jawa Tondano K.H Ahmad Rifa’i menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair, nadzam-nadzam yang diambil dari kitab karangannya.

K.H Ahmad Rifa’i wafat di Kampung Jawa Tondano pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H atau tahun 1872 (usia 86 tahun) dan dimakamkan dikomplek makam Kyai Modjo.

Tahun 1880: Sayid Abdullah Assagaf (Asal Palembang, Sumatra selatan).

Sayed Abdullah Assagaf adalah orang Arab yang lahir di Palembang, Sumatra Selatan. Belanda mengasingkannya ke Tondano pada tahun 1880 kerana menganggapnya menghasut masyarakat untuk melawan Belanda. Di Palembang Assagaf konon ia menikah dengan wanita Belanda (Nelly Meijer) putri Residen Bengkulu. Dari perkawinannya dengan wanita Belanda ini ia memperoleh satu orang anak laki-laki (Raden Nguren/Nuren). Sebelum nenikah dengan Assagaf, Nelly Meijer adalah janda beranak satu dari perkawinannya dengan adik Sultan Palembang (Mahmud Badaruddin II). Nelly Meijer dan kedua anaknya kemudian menyusul ke Kampung Jawa Tondano dan Raden Nuren kemudian menikah dengan wanita Minahasa asal Remboken. Anak Nelly Meijer yang satunya lagi (hasil perkawinan dengan adik sultan Palembang) menikah di Kampung Jawa Tondano dan menurunkan keluarga (fam) Catradiningrat.

Di Kampung Jawa Tondano Sayed Abdullah Assagaf menikah (lagi) dengan Ramlah Suratinoyo dan memiliki 7 orang anak, dan dari mereka menurunkan keluarga (fam) Assagaf di Kampung Jawa Tondano.

Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah men”distorsi” budaya kampung Jawa Tondano yang semula sangat kental dengan budaya jawa. Abdullah Assagaf berhasil mentransfer dan mengawinkan budaya Arab-Sumatra dengan budaya jawa dan melahirkan budaya jaton generasi ketiga.

Tahun 1884:Gusti (Pangeran) Perbatasari (Banjarmasin, Kalimantan).

Pangeran Perbatasari melakukan pemberontakan terhadap Belanda namun kemudian ia tertangkap di daerah Kutai ketika dalam perjalanan membeli persenjataan dan tahun 1884 diasingkan ke kampung Jawa tondano.

Di Kampung jawa Tondano Pangeran Perbatasari menikah dengan dengan wanita JATON. Satu orang saudara laki-lakinya (Gusti Amir) kemudian menyusul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah dengan wanita JATON (fam.Sataruno).

Tahun 1889 : Banten Group.

Pada tanggal 9 Juli 1888 di Cilegon (Banten – Jawa Barat) meletus perlawanan rakyat (disebut Geger Cilegon) terhapap pemerintah colonial Belanda. Geger Cilegon dipimpin oleh pemuka islam Cilegon antara lain Haji Abdul karim (pemimpin tarekat di Lempuyang), Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid (pemimpin pesantren di Beji-Bojonegara, beliau murid Syekh Nawawi Al Bantani). Pada saat itu Banten sedang dihadapi bencana besar. Setelah meletusnya Gunung Karakatau pada tahun 1883 yang merenggut 20.000 juta jiwa lebih, disusul dengan berjangkitnya wabah penyakit hewan (1885) pada saat itu masyarakat banyak yang percaya pada tahayul dan perdukunan.

Di desa Lebak Kelapa terdapat satu pohon besar yang sangat dipercaya oleh masyarakat memiliki keramat. Berkali-kali H. Wasid memperingati masyarakat. Namun bagi masyarakat yang tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkan.H. Wasid tidak dapat membiarkan kemusrikan berada didepan matanya. Bersama beberapa muridnya, beliau menebang pohon besar tersebut. Kejadian inilah yang menyebabkan beliau dibawa ke pengadilan (18 Nopember 1887), belaiu didenda 7,50 gulden. Hukuman tersebut menyinggung rasa keagamaan dan harga diri murid-murid dan para pendukungnya.

Selain itu, penyebab terjadinya persitiwa berdarah, Geger Cilegon adalah dihancurkannya menara langgar di desa Jombang Wetan atas perintah Asisten Residen Goebel. Goebel menganggap menara tersebut mengganggu ketenangan masyarakat, karena kerasnya suara. Selain itu Goebel juga melarangang Shalawat, Tarhim dan Adzan dilakukan dengan suara yang keras.

Kelakuan kompeni yang keterlaluan membuat rakyat melakukan pemberontakan. Pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum. Dengan memekikan Takbir para ulama dan murid-muridnya menyerbu beberapa tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa tersebut Henri Francois Dumas – juru tulis Kantor Asisten residen – dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik Hubert Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka adalah orang-orang yang tidak disenangi oleh masyarakat. Cilegon dapat dikuasai oleh para pejuang “Geger Cilegon”. Tak lama kemudian datang 40 orang serdadu kompeni yang dipimpin oleh Bartlemy. Terjadi pertempuran hebat dengan persenjataan yang tak seimbang antara para pejuang dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipatahkan.

Haji Wasid dihukum gantung. Sedangkan yang lainnya dihukum buang. Diantaranya adalah Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris ke Bukittinggi Haji Arsyad thawil ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke flores, selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon dan lain-lain. Semua pemimpin yang dibuang berjumlah 94 orang.

Dari jumlah tersebut ada 4 orang yang dibuang ke kampung Jawa Tondano dan kemudian menikah dengan wanita Jaton, mereka adalah Haji Abdul Karim (menikah dengan fam Haji Ali) keturunannya menggunakan fam Aslah, Haji Muhammad Asnawi (menikah dengan fam Haji Ali) , Haji Jafar (menikah dengan fam Maspekeh) dan Haji Mardjaya. Keturunan mereka menggunakan fam Tubagus.

Tahun 1895: Tengku Muhammad / Umar (Asal Aceh).

Tengku Muhammad atau Tengku Umar (bukan Tengku Umar pahlawan Aceh) diketahui tidak mempunyai keturunan di jaton.

Tahun 1900: Haji Saparua (Asal Maluku).

Haji saparua menikah di Tondano (Babcock, 1989) namun tidak ada catatan mengenai keturunannya.

Source: https://putrahermanto.wordpress.com/2012/05/22/sejarah-islam-di-minahasa-sulawesi-utara/

Tinggalkan komentar