TRADISI TAHLILAN BUKAN DARI HINDU

Posted: September 17, 2012 in BID'AH, STOP MENUDUH BID'AH !!
Tag:,

Masih tertulis oleh mereka atas tuduhan – tuduhan para Wahabi – Salafy, bahwa ” ORANG YANG MENGADAKAN TAHLILAN DERAJATNYA LEBIH RENDAH DARI SEORANG PELACUR !!”, dan tuduhan – tuduhan seperti : ” TAHLILAN BERASAL DARI AGAMA HINDU”, sungguh para pengikut Wahabi – Salafy hanya dipenuhi dengan ajaran kebencian yang setiap hari diisi dengan fatwa – fatwa : Takfir, Tabdi’ & Musyrik.

Para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendo’akan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut…..

Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.

BILANGAN YANG DI KUMPULKAN ULAMA SEUMPAMA 3 HARI, 7 HARI, 40 HARI, DST

Tak pernah ada anggapan akan kewajiban atau sunnahnya mendoakan para mayyit di hari-hari tsb, karena setiap hari pun kita semua mendoakan mereka, tak bedanya apabila kita bersekolah/ belajar setiap hari senin sampai sabtu (6 hari) atau kaum Salafy mengadakan dauroh setiap hari ahad, karena kita semua pasti berpendapat hari diluar hari itupun bisa, tak hanya beberapa hari yang disebutkan tadi saja, dan tak pernah ada anggapan dan tuduhan mereka yang dauroh menyerupai Nasrani yang beribadah di hari tsb .

Ahmad bin Mani’ meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: “Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau menginstruksikan agar Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang datang bertakziyah.” Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).

Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.

Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]

Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]

Di dalam kitab kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :

قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Sementara dalam riwayat lain :

عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا

“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.

Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.

Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).

Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.

(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

PERIHAL ANJURAN MENGIKUTI SAHABAT NABI SAW (ATSAR)

} وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {100}

Dan sesungguhnya manusia-manusia yang mendahului kamu, generasi-generasi yang terawal yang baik lagi mulia dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan generasi yang mengikuti mereka dengan baik, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala redha kepada mereka, dan mereka redha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Surah At-Taubah : 100]

… وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي)

“… dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Mereka (shahabat) bertanya, “siapakah itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).

Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka. Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat inI ( I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim).

Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُواْ، وَكُفَّ عَمَّا كُفُّوْا عَنْهُ، وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحَ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ.

“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [Musnad Imam Ahmad bin Hanbal]

Beliau rahimahullah juga berkata:

عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ لَكَ بِالقَوْلِ.

“Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [Sunan at-Tirmidzi]

Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:

كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: إِذَا كَانَ الرَّجُلُ عَلَى اْلأَثَرِ فَهُوَ عَلَى الطَّرِيْقِ.

“Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.”[Sunan Abi Dawud]

Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa syarat yaitu:

  1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
  2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
  3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
  4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
  5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan mereka yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam. Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihat Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225).

PERINGATAN BAGI YANG TIDAK MAU MENGIKUTI, ATAU BAHKAN MENCELA SUNNAH KULAFAUR RASYIDIN (SAHABAT NABI SAW)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisa’ ayat 115)

Ibnu Taimiyyah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mukmin” (bahwa) mereka adalah para sahabat.

Berdasarkan istimbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:

Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mukmin di permukaan bumi ini selain dari para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka. Mafhumnya, bahwa orang-orang mukmin yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mukmin yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mukmin sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:

من ظن أنه يأخذ من الكتاب والسنة بدون أن يقتدي بالصحابة ويتبع غير سبيلهم، فهو من أهل البدع.

“Siapa yang menyangka bahwa dia cukup mengambil al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa perlu meneladani para Shahabat dan dia mengikuti selain jalan yang mereka tempuh, maka dia termasuk ahli bid’ah.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyyah, hlm. 556)

40 HARI BUKAN DARI HINDU-BUDDHA

– Siti Hawa
وَأَمَّا حَوَّاءُ: فَعَنْ وَهْبٍ: أَنَّهَا لَمْ تَعْرِفْ بِمَوْتِ آدَمَ حَتَّى سَمِعَتْ بُكَاءَ الْوُحُوْشِ وَالطَّيْرِ، فَقَامَتْ فَزِعَةً وَصَاحَتْ صَيْحَةً شَدِيْدَةً، فَأَقْبَلَ إِلَيْهَا جِبْرِيْلُ وَصَبَّرَهَا؛ فَلَمْ تَصْبِرْ دُوْنَ أَنْ لَطَمَتْ وَجْهَهَا وَدَقَّتْ صَدْرَهَا، فَوَرَثَ ذَلِكَ بَنَاتُهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. ثُمَّ إِنَّهَا لَزِمَتْ قَبْرَ آدَمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً لَا تُطْعِمُ الزَّادَ وَلَا الرَّقَادَ، فَأَخْبَرَهَا جِبْرِيْلُ بِاقْتِرَابِ أَجَلِهَا. فَشَهَقَتْ شَهْقَةً عَظِيْمَةً وَمَرِضَتْ مَرْضاً شَدِيْداً، وَهَبَطَ مَلَكُ الْمَوْتِ فَسَقَاهَا شَرَابَ الْمَوْتِ، فَفَارَقَتِ الدُّنْيَا. (سمط النجوم العوالي في أنباء الأوائل والتوالي للعصامي – ج 1 / ص 28)
“Sedangkan Hawa’, diriwayatkan dari Wahab (bin Munabbi) bahwa Hawa’ tidak mengetahui wafatnya Nabi Adam, hingga ia mendengat tangisan hewan dan burung. Lalu ia berdiri dan menjerit. Jibril mendatanginya dan memintanya bersabar, namun ia tidak bersabar, tanpa memukul wajahnya dan memukul dada. Maka hal itu diwarisi oleh para wanita hingga hari kiamat. Kemudian Hawa’ berada di makam Adam selama 40 hari, tanpa makan dan minum. Jibril memberi kabar kepadanya akan dekatnya ajal Hawa’. Ia histeris, lalu sakit parah. Malaikat maut turun dan memberinya minuman kematian, lalu ia berpisah dengan dunia” (al-Ishami, Simtu an-Nujum al-Awali, 1/27)

– Ulama Shafadiyah (Turki)
وَمَشَى أَمَامَهُ الْمَشَايِخُ وَالْعُلَمَاءُ وَالْأُمَرَاءُ وَجَمِيْعُ اْلأَحْزَابِ وَالْأَوْرَادِ وَأَوْلَادُ الْمَكَاتِبِ وَأَمَامَ نَعْشِهِ مَجَامِرُ الْعَنْبَرِ وَالْعُوْدِ سِتْراً عَلَى رِيْحَتِهِ وَنَتْنِهِ حَتَّى وَصَلُوْا بِهِ إِلَى مَدْفَنِهِ وَعَمِلُوْا عِنْدَهُ لَيَالٍ وَخَتْمَاتٍ وَقِرَاآتٍ وَصَدَقَاتٍ عِدَّةَ لَيَالٍ وَأَيَّامٍ نَحْوَ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً (سلك الدرر في أعيان القرن الثاني عشر للمرادي – (ج 1 / ص 496) وعجائب الآثار للجبرتي – (ج 1 / ص 242)
“Mereka yang berjalan di depan janazah Umar adz-Dzahir adalah para ulama, umara’, semua anggota hizib dan wirid, dan anak-anak sekolah. Dei depan kerandanya dibakar kayu garu untuk menutupi baunya, hingga sampai di pemakaman. Selama beberapa malam mereka melakukan khataman, bacaan dan sedekah, sekitar 40 hari” (al-Muradi, Silku ad-Durar 1/496, dan al-Jabrati, Ajaib al-Atar, 1/242)

Wallahu A’lam.

[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).

[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.

[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.

[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad”
(Shahih Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’i mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).

Mengenai ayat :

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى

“dan bahwasanya tiada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)

Maka Ibn Abbas rodliyallahu ‘anh menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka…
(QS. ath-Thuur 52 : 21)”.

Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dan lain-lain untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al-Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat :

والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(QS. al-Hasyr 59 ; 10)

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula”
(HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al-ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Source : mubas.wen.ru

Menurut kesaksian para umat Hindu selamatan kematian 3 hari, 7 hari, 40 hari, dst tidak ada dalam ajaran Hindu, simak linknya disini http://portalhindu.com/2011/10/19/menggugat-kesaksian-ustadz-%E2%80%98%E2%80%99ida-bagus%E2%80%99%E2%80%99-abdul-aziz-2

===================

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia baik dari keluarga atau orang lain

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَاTelah

bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)Contoh sedekah oleh bukan keluargaPernah dicontohkan bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)

Lihat Fatwa Bin Baz tentang Talqin & tahlil di http://www.binbaz.org.sa/mat/14082

Syeikh Bin Baz tentang makan-makan di tempat takziah :

وَقَالَ الشَّيْخُ عَبْدُالْعَزِيْزِ بْنُ بَازٍ ( ت 1420هـ) ـ رحمه الله تعالى ـ عِنْدَمَا سُئِلَ عَنْ جُلُوْسِ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِاسْتِقْبَالِ الْمُعَزِّيْنَ وَاجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ. قَالَ ـ رحمه الله تعالى ـ:( لَا أَعْلَمُ بَأْسًا فِيْمَنْ نَزَلَتْ بِهِ مُصِيْبَةٌ بِمَوْتِ قَرِيْبٍ، أَوْ زَوْجَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْمُعَزِّيْنَ فِيْ بَيْتِهِ فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ، لِأَنَّ التَّعْزِيَةَ سُنَّةٌ، وَاسْتِقْبَالَ الْمُعَزِّيْنَ مِمَّا يُعِيْنُهُمْ عَلَى أَدَاءِ السُّنَّةِ؛ وَإِذَا أَكْرْمَهُمْ بِالْقَهْوَةِ، أَوِ الشَّايِ، أَوِ الطّيبِ، فَكُلُّ ذَلِكَ حَسَنٌ

Berkata Syeikh Abdul Aziz Ibn Baaz (wafat tahun 1420 H) ketika ditanya tentang duduknya keluarga mayit menemui orang-orang bertakziah. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa bagi orang yang tertimpa musibah dengan kematian kerabatnya, istrinya dan sebagainya untuk menemui orang bertakziah dirumahnya pada waktu yang pantas. Karena takziah hukumnya sunnah, menemui orang bertakziah termasuk menolong mereka dalam menjalankan sunnah. Dan jika mereka disuguhi kopi, teh dan (makanan) yang enak maka itu semuanya adalah bagus.

Source: Ust & Ust. Ma’ruf Khozin

KLIK DISINI UNTUK DOWNLOAD BUKU PDF TENTANG TAHLIL MENURUT MADZHAB SYAFI’I

Baca Juga :

Komentar
  1. asep berkata:

    sy dapat ilmu baru,hanya saja dalil ini belum memuaskan saya karena dalil dalil nya tidak pas dgn acara tahlilan itu sendiri,sy ingin dalil yang benar benar rosul menyuruh tahlila

  2. Fattah Abdul berkata:

    mas asep, tidak semua hal yang kita kerjakan itu harus benar2 dikerjakan oleh rosul dan diberikan dalilnya, terkadang perbuatan baik itu datangnya dari kesepakatan sahabat, atau bahkan ulama’, jadi suatu amalan tidak mesti harus memakai statement “rosul menyuruh ini & itu”

  3. usahaparanabi@gmail.com berkata:

    asep aneh

  4. fajar berkata:

    itulah “sedikit” perbedaan antara manhaj salaf dan manhaj tradisi. kalo salaf dalil dulu, baru diamalkan. kalo tradisi amal dulu baru dicarikan dalil yg cocok sebagai alasan pembenar amalannya.

  5. vito berkata:

    Ada dalil pada kitab manawa dharma sastra weda smerti hal.99 ,jika ada yg bisa carikan dalil knp selametan kematian harus dilakukan di hari 1-7,40 s/d 1000hari saya transfer 2milyar

    • generasisalaf berkata:

      Tak pernah kami sedikitpun mengharuskan harus 1,3 7,dst, seperti halnya anda belajar disekolah tidak musti harus dari senin sampai minggu, toh diluar hari2 itu bisa dan boleh2 sja, atau anda mengadakan dauroh setiap hari ahad, kami tak penah menuduh anda bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melakukan peribadatannya setiap hari tsb.
      Mengapa anda lebih meng-imani & mempercayai kitab Weda kitab agama Hindu dibanding hadits Nabi & riwayat shahabt berikut ini:

      riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:

      عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.

      “Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”

      Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289.

      Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

      عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.

      “Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).

      Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.

      Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:

      عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.

      “Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

      Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

  6. SUJAMAK berkata:

    NABI TIDAK MENGADAKAN TAHLILAN KEMATIAN SEMASA KEMATIAN KHADIJAH ISTERI TERCINTANYA DAN SEMASA KEMATIAN ANAK YG DIKASIHINYA KASSIM. BEGITU JUGA SEMUA PARA SAHABAT, TIDAK MENGADAKAN MAJLIS TAHLILAN KEMATIAN SEMASA ZAMAN MEREKA.
    HANYA AHLI KESESATAN BEKAS PENGANUT HINDU DAN KETURUNAN MEREKA DARI DAERAH NUSANTARA MENGADAKAN TAHLILAN KEMATIAN.
    “SELURUH BID’AH ADALAH SESAT DAN SESAT MASUK NERAKA”- MAHFUM HADIS
    YOU CAN CHOOSE WHETHER YOU CAN GO TO HELL OR HEAVEN

    • generasisalaf berkata:

      Saudaraku yang ku muliakan, tradisi tahlilan adalah sarana berdoa untuk mendoakan yang mati, sebagaimana kita di tuntut untuk belajar dari semnjak lahir hingga wafat, di lakukanlah sarana belajar seperti sekolah, majlis ta’lim, dauroh yang saudara kami Salafy lakukan biasanya setaiap hari ahad/ minggu, tapi kami sama sekali tak pernah menyebut anda tasyabbuh bil kuffar karena kaum nasrani melakukannya di hari minggu. Nabi tak pernah sekolah, belajar di tempat kursus, dll.

      JIka anda memahami hadis “kullu” dengan leterlek dan bukan memakai pemahaman yang sesuai, baik ilmu bahasa arabnya, dan ilmu-ilmu hadits yanga ada maka anda tak bedanya seperti anak kecil yang hanya pandai membaca tapi tak tau makna terdalamnya…silahkan anda baca tentang bid’ah & tahlil di blog ini lebih lanjut, semoga Anda memahaminya betul2…Hanya Allah saja yang pantas melabelkan seseorang masuk surga/ neraka, karena surga & neraka kepunyaan-Nya & hak Preorogatif-Nya, terima kasih

  7. Arul berkata:

    Ya memang, harus mendoakan tapi bukan minta doa. kalau mengaku itu sunnah, bukan Bid’ah dasarnya itu apa

  8. Muhammad Iqbal berkata:

    Saya ga perlu baca teks diatas. Mendoakan itu baik tapi Pikir saja sendiri memangnya ada transfer pahala?!!! Berdoa terus pahala dari doa itu dikirim? Semakin banyak orang semakin besar transferannya? Semakin banyak duitnya semakin banyak orangnya. Islam itu agama yg realistis. Pahala itu gak pernah bisa berbentuk, jadi tidak mungkin ada bursa transfer pahala. Kasihan banget deh orang yg masih berfikiran seperti itu.

  9. Haddad berkata:

    Hati-hati dg “Fitnah” & “Adu domba”.
    Mari kita baca & pahami Qur’an Surat An-Nur ayat 11 (QS 24:11) dan Surat Al-Hujurat ayat 6 (QS 49:6).
    Wallahua’lam

  10. prihatin berkata:

    kasian yang nggak punya uang banyak, harus berhutang sana sini untuk tahlilan, kalo gak tahlilan di gosipkan yang tidak2, kasian sekali. padahal tidak ada tuntunan tp seperti jadi kewajiban

    • generasisalaf berkata:

      Kekhawatiran anda berlebihan, banyak kasus saudara & kerabat bahkan tetangga membantu untuk acara tsb.

      • Alizar Amran berkata:

        MAAF SAUDARAKU,ADA KISAH DITEMPAT SAUDARAKU DIACEH,,SEWAKTU ORTUNYA MENINGGAL ADA KELUARGANYA YG MELAKUKAN TAHLILAN,KEMUDIAN MEREKA BERHUTANG UTK MELAKUKAN TAHLILAN TSB,SETELAH SELESAI TAHLILAN ,RUPANYA UTANG MENUMPUK DAN AKHIRNYA TERJUALLAH TANAH SIANAK YATIM TSB,JADI,TAHLILAN ITU RUPANYA MENYIKSA BAHKAN MEMAKAN HARTA ANAK YATIM JUGA YA?ASTAGHFIRULLAHH..

  11. hartono berkata:

    kalo do’a itu tidak bisa ditransfer pada orang yang telah meninggal, coba kita do’akan aja orang yang telah meninggal itu supaya dimasukkan ke neraka… berani ga’ do’a seperti itu…

  12. matahari berkata:

    lihat komentar orang orang, kok pada sadis yah… menurut saya sih ga usah diperdebatkan yang begini… yg percaya lanjut yang engga ya udah… kok kesannya mencari yg paling benar gitu yah… klo kita umat muslim muter muter terus di hal beginian katanya mau maju… ? yang begini di ubek ubek mulu… bikin perpecahan aje… maaf klo pikiran saya terlalu simpel alias ga mau pusing… karna saya cinta damai
    mending kita cari persamaan dibanding ngorek ngoreek perbedaan 😀

    • bagus berkata:

      KAPAN MUSLIM DI INDONESIA BERSATU KALO BERDEBAT SOAL BEGINIAN,… ORANG YANG BERILMU ITU SEHARUSNYA LEBIH HALUS HATINYA DAN TIDAK MUDAH TERPECAH.,

  13. bagus berkata:

    islam itu satu

  14. Y. Yuzar berkata:

    Yg berlebihan itu ga baik… Allah Maha Tahu apa yg kita perbuat.. Yg penting ukuranya Ikhlas.. Jd sedikit banyak ga masalah mau wirid semalaman, tahlilan, apalah itu yg penting Ikhlas… Sy bukan Ustadz tp sy hanya punya keyakinan bhw Allah dgn memberi kt otak/pikiran dan akal/hati/nurani mk sdh cukup memahami semua, mk saran saya sekalipun beribadah jgn berlebihan…

  15. Abu iffah berkata:

    بسم الله الرحمن الرحيم
    الحمد لله ر ب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأ نبيآء والمرسلين
    سيّدنا محمد وعلى آله وأزواجه وذرّيّاته وأصحابه أجمعين
    وقال الله تعالى فى كتابه الكريم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
     •           
    سبحانك لاعلم لنا إلاّ ما علّمتنا ولا حول ولا قوّة إلاّ بالله
    أمّا بعد

    BACAAN DAN DO’A UNTUK MAYIT

    Pokok dari tulisan ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan : apakah si-mayit mendapat manfaat dengan amal orang lain?
    Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa man¬faat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh si-mayit dengan berbagai macam alasan *).
    Dalam uraian-uraian di bawah ini, penulis akan menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya dari pendapat yang tersebut diatas.

    A. Hadits Dari Abi Utsman

    Di dalam bab ini penulis terlebih dahulu akan mengemukakan sebuah hadits dari Abi Utsman yang berbunyi sebagai berikut :

    إقرؤا يّس على موتا كم

    “ Bacakanlah YASIN atas segala orang yang meninggal dunia diantara kamu” . { Al-shiddiqi, Muhammad bin Alan, Syarhul Adzkar. juz IV. Mesir. Al Saadah. 1347 H, 108 Hadits ini disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim}

    Kedudukan dari hadits tersebut adalah dhaif/lemah karena diantara rawi-rawinya ada yang kurang kuat. Jika sudah jelas demikian mengapa ia harus kita pakai? Untuk menerangkan hal ini supaya lebih jelas persoalannya, penulis akan membagi dalam 4 bagian :

    1. Mengenai kedudukan dan jalan riwayatnya.
    2. Hal-hal yang menguatkan.
    3. Keterangan beberapa Ulama-Muhadditsin.
    4. Pengertian mautakum.

    1. Mengenai Kedudukan dan jalan riwayatnya

    Diatas telah penulis nyatakan bahwa kedudukan dari hadits tersebut adalah dhaif/lemah karena diantara riwa¬yatnya ada yang kurang kuat. Jalan riwayatnya dapat penulis uraikan secara singkat sebagai berikut :
    Di dalam kitab ADZKARUNNAWAWI disebutkan bahwa hadits ”
    إقرؤا يّس على موتا كم
    tersebut adalahdhaif, lemah karena terdapat dua orang rawi yang tidak diketahui riwayat hidupnya, Sanad dari hadits ini ialah : dari Abi Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasar. Yang tidak diketahui riwayat hidupnya ialah Abi Utsman dan ayahnya.

    Dari jalan lain maka sanadnya didapat sebagai ber¬ikut : dari Mu’tamir, dari ayahnya, dari seorang lelaki, dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasar.
     Ayah Mu’tamir ialah Sulaiman, bangsa Taimi, mengambil dari seorang lelaki ialah Abi Utsman.
     Abi Utsman sebagaimana disebutkan di dalam kitab ASMAURRUAL adalah “maqbul”, artinya tidak di¬tolak riwayat haditsnya, dan kebanyakan ia (Abi Utsman) mengambil dari tabi’ien yang besar-besar. Ibnu Hibban telah menetapkan bahwa Abi Utsman adalah termasuk golongan tsiqah (dipercaya).
     Sekarang tinggal lagi riwayat hidup dari ayah Abi Utsman. Hal ini belum didapat, karena itu jadilah hadits ini “majhul” dan hukumnya dhaif/lemah.

    Akan tetapi walaupun kedudukan dari hadits terse¬but dhaif’lemah, ia dapat digunakan apabila :
    a. Di dalam “fadhailul-a’mal”, baik yang menerangkan pahala bagi suatu amal ataupun yang menyuruh mengerjakan sesuatu amal.
    b. Dikuatkan dengan hadits-hadits yang lain.

    Bagaimana terhadap hadits :
    إقرؤا يّس على موتا كم

    tersebut apakah memenuhi salah satu atau keduanya dari syarat-syarat yang penulis sebutkan diatas ini? Hal ini akan penulis terangkan jawabnya dalam bagian kedua dibawah ini.

    2. Hal-hal yang menguatkan

    Hadits :
    إقرؤا يّس على موتا كم

    itu tergolong dalam “Fadhai-lul a’mal”. Dan adapun hadits-hadits yang menguatkan-nya antara lain yaitu :

    a. Berkenaan dengan ayat-ayat Surat Yasin :

    عن صفوان بن عمروعن المشيخة أنّهم حضرواغضيف ابن الحارثحين إشتدّ شوقه قال هل فيكم أحد يقرأ يآس قال فقرأها صالح بن شريح الشكونى فلمّا بلغ أربعين آية منها قبض فكان المشيخة يقولون إذا قرئت
    عند الميّت خفّف عنه بها . هذا موقوف حسن الإسناد وغضيف صحابيّ عند الجمهور قال صفوان وقرأها عيسى بن المعتمر عند بن معبد

    “Dari Shafwan bin A’mir dari gurunya, bahwa mereka telah datang kepada Ghudhaif (shahabat) yang sedang sakit keras;” adakah pada kamu seorang yang akan mem: bacakan Yasin? Lantas membacakannya Shaleh bin Syureh dari golongan Sakuni. Maka tatkala sudah sam-pai empat puluh ayat, wafatlah Ghudhaif bin Alharits. Maka adalah guru-guru ( shahabat atau tabi’en) itu berkata : “Apabila diba¬cakan Yasin diwaktu hampir mati, maka diringankan dia dengannya. Ini hadits maukuf hasan. ( sampai kepada shahabat dan rawi-rawinyabaik). Dan menurut pendapat para Ulama, bahwa Ghudhaif adalah shahabat Nabi saw. Berkata Shafwan dan membacakannya (Yasin) pada Isa bin Almu’tamir disisi ibnu Ma’bad”. { Al-shiddiqi, Syarhul Adzkar, Juz IV/120}

    وأسنده صاحب الفردوس من طريق مروان بن سالم عن صفوان عن عمرو عن شريح عن أبى درداء وأبى ذرّ قالا قال يا رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما من ميّت يموت فيقرأ عنده يآس إلاّ هوّن الله عليه . وفى الباب عن أبى ذرّ وحده أخرجه أبو الشيخ فى فضائل القرآن . وفى ابى داود عن معقل بن يسار قال: قال النبيّ صلى الله عليه إقرؤا يّس على موتا كم

    “Telah disampaikan sanad hadits bacaan Yasin oleh pengarang kitab MUSNADIL-FIRDAUS, dari jalan Marwan bin Salim, dari Shafwan, dari Amr, dari Syureh, dari Abi Darda’ dan Abi Dzar, keduanya berkata : telah bersabda Rasulullah saw, “Tidak ada seorang juapun yang meninggal dunia, lalu dibacakan Yasin disampingnya melainkan Allah swt memudahkan atasnya. Dan pada pembicaraan Yasin ini diriwayatkan dari Abi Dzar sendiri. Dikeluarkan oleh Abu Syekh pada Fadhailul Qur’an. Dan pada riwayat Abi Dawud, dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata telah bersabda Rasulullah saw. : “Bacakanlah Yasin atas orang-orang yang meninggal diantara kamu”.{ An-Navvawi. Al-Imam, SyarhulMuhadzab. juz IV Mesir, al-Tadzamun al-L’khawi, t.t, 111}

    وروى البيهقى فى شعب الإيمان عن معقل بن يسار انّ النبيّ صلى الله عليه وسلّم قال من قرأ يس ابتغاء وجه الله تعالى غفر له ما تقدّم من ذنبه فاقرؤها عند موتاكم

    “Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab SYUABIL IMAN, dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi saw, telah bersabda : “Barang siapa membaca Yasin karena menuntut pahala/ganjaran kepada Allah swt, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu”.{ Al-Sayuthi, al-Imam. A/Jamius Shaghir, juz II Mesir, Darul}

    B. Berkenaan dengan ayat-ayat lainnya

    Di dalam hadits-hadits yang lain disebutkan juga tentang bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an diatas kubur itu, selain daripada surat Yasin tersebut, yaitu :

    عن العلاء بن اللجلاّج قال أبى إذا متّ فضعنى فى اللحد وقل بسم الله وعلى سنّة رسو ل الله وسنّ عليّ التراب سنّا واقرأ عند رأسي بفاتحة البقرة وخاتمتها فانّي سمعت عبد الله بن عمر يفول ذلك

    “Dari ‘Alla’ bin Lajlaj, ayahku berkata : “Apabila aku telah meninggal dunia, maka letakkanlah diriku dalam lobang kubur, dan sebutlah dengan nama Allah swt dan atas sunnat Rasul-Nya; lalu ratakanlah tanah diatasku dan bacakanlah disisi kepalaku awal surat Baqarah dan akhirnya. Sebab sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Abdullah bin Umar ra berkata yang demikian itu”. { Al-Arabi, Muhammad, h’aful Mustimin Wal Muslimat,Jeddah, Al fatah, t.t, 30}

    Keterangan :
    Hadits ini menunjukkan bahwa bacaan ayat Qur’an itu bermanfaat bagi mayit.

    عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم من دخل المقابر وقرأ فاتحة الكتاب وقل هو الله أحد وألهاكم التكاثر ثمّ قال إنّي جعلت ثواب ما قرأت من كلا مك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات كانوا شفعاء له إلى الله تعالى

    “Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw, “Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatehah, dan Kulhu Allahu ahad, dan Alha kumuttakatsur; kemudian ia berkata, “Sesungguhnya aku jadikan pahala yang kubaca dari kalam Engkau (Allah), bagi ahli kubur dari kaum Mu’minin dan Mu’minat”, maka niscaya mereka itu mintakan syafaat ke¬pada Allah baginya. Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam kitab FAWAAID”.{ Al-Arabi, Muhammad, h’aful Mustimin Wal Muslimat, Jeddah, Al fatah, t.t, 13}

    عن أبي شيبة من طريق العقاء جابر بن زيد أنّه يقرأ عند الميّة سورة الرعد
    “Dari Abi Syaibah, dari jalan Sya’tsa’ Jabir bin Zaid, bahwa sesungguhnya dibacakan surat Al-Raid disisi mayit”. { Al-Shiddiqi, Syarhul Adzkar, Juz IV / 120}
    اا
    عن عائشة رضي الله عنها قال أتانى جبريل فقال إنّ ربّك يأمرك ان تأتي أهل البقيع فتستغفر لهم قالت قلت كيف أقول لهم يا رسول الله قال قولى السلا م أهل الديار وفى رواية السلا م عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين وإنّ إنشأالله للاحقون أسأل الله لنا ولكم العافية

    “Dari ‘Aisyah r.a., telah bersabda Rasulullah saw.: “Telah datang kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhan engkau memerintahkan engkau datang kekubur-an Baqi’ supaya engkau mintakan ampun bagi mereka. Lalu berkata ‘Aisyah r.a., “Bagaimana aku berkata untuk mereka, ya Rasulullah? Sabda beliau : “Sebutlah, bahwa kesejahteraan atas ahli kubur. Dan pada suatu riwayat, bahwa kesejahteraan atas kamu sekalian hai ahli kubur dari Mu’minin dan Muslimin. Dan kami pun apabila Allah menghendaki akan bertemu kelak. Aku mohon kepada Allah akan afiat bagi kami dan bagi kamu se¬kalian”. Diriwayatkan oleh Muslim. { Ali Nashif, Syekh Manshur, Attaj, juz I. Mesir, Daru Ikhya’
    Al Kutub al-Arobiyah, t.t, 344.}

    Keterangan :
    Hadits ini menunjukkan bahwa mayit mendapat man-faat dengan do’a orang yang ziarah kekubur.

    روي عن أحمد أنّه قال إذا دخلتم المقابر فاقرؤا آية الكرسي وثلاث مرّات قل هو الله أحد ثمّ قل إنّ فضله لأهل المقابر

    “Diriwayatkan dari Ahmad bin Hambal, bahwa ia ber¬kata :”Apabila engkau masuk halaman kuburan, maka bacalah ayat Al-Kursi, dan 3 kali Kulhu-Allahu-ahad, kemudian katakanlah : :Hai Allah, bahwa pahalanya aku hadiahkan bagi ahli kubur”{ Al – Arabi, Is ‘aful Muslimin Wal Muslimat, 17,24}

    Dengan keterangan-keterangan tersebut diatas, kiranya sudah cukup jelas, bahwa meskipun kedudukan dari hadits “Iqrauu Yasin …. dst.” itu pada setengah pendapat dinyata-kan sebagai hadits dhaif/lemah karena didalam sanadnya terdapat seorang rawi (ayah Utsman) yang belum diketahui nama dan riwayat hidupnya, tapi dengan adanya “syahid”, maka kedudukan dari hadits itu menjadi kuat atau dengan kata lain ia dapat dijadikan hujjah.

    3. Keterangan beberapa ulama muhadditsin/fuqahaa’

    Dalam bagian ini perlu pula ditambahkan be¬berapa keterangan yang diberikan oleh Ulama-ulama Muhadditsin/Fuqahaa’ yang pada pokoknya adalah lebih memperkuat isi hadits mengenai :
    إقرؤا يّس على موتا كم

    قال الشوكاتى العادة الجارية فى البلدان من الإجتماع فى المساجد لتلاوة القرآن على الأموات وكذالك فى البيوت وسائر الإجتماع التى لم ترد فى الشرئعة ان كانت خالية عن معصية فهى جائزة لأنّ الإجتماع ليس بمحرّم فى نفسه لا سيّما لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها ولا يقدح فى ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميّت فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما فى حديث إقرؤا يّس على موتا كم وهو حديث حسن ولا فرق بين تلاوة يـس من الجماعة الحاضرين عند الميّت أو على قبره وبين تلاوة جميع القرآن أو بعضه لميّت فى مسجد أو بيته

    “Telah berkata Imam Syaukani, bahwa adat kebiasaan yang berlaku dibeberapa negeri mengenai berkumpul di dalam masjid-masjid untuk membaca Qur’an atas segala orang yang meninggal dunia, demikian juga di-rumah-rumah dan semua perhimpunan yang tidak terdapat pada syari’at, jika ia sunyi dari ma’siat, maka itu boleh, karena berkumpul itu pada dirinya tidak diharamkan. Apalagi untuk menghasilkan taat seperti bacaan dan sejenisnya dan tidak menjadi tercela keadaan bacaan itu dijadikan untuk mayit; maka sesungguhnya terdapat di dalam syari’at jenis bacaan dari pada jamaah yang berkumpul, seperti pada hadits “Iqrauu Yasin’ala mautaakum”. Hadits ini hasan. Dan tidak ada bedanya diantara bacaan Yasin dari para jamaah yang hadir di sisi mayit, atau diatas kuburnya; dan tidak berbeda pula diantara membaca semua ayat Al-Qur’an atau setengah-nya bagi mayit dimasjid atau di rumahnya”.
    { Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Irsyadus-Saiel Ila Dalailil Masaiel, 46}

    قال الزعفرلنى سألت الشافعى عن القراءة عند القبر فقال لا بأس

    ‘Telah berkata Imam Za’farani, aku bertanya pada Imam Syafi’ie tentang pembacaan dikubur, maka jawab-nya tidak apa-apa” { Al- Arabi, Is ‘aful Muslimin Wal Muslimat, 16,20}

    وذكر الخلاّ ل عن الشعبي قال كا نت الأنصار إذا ما ت لهم الميّت إخـتلفوا إلى قبره يقرؤن القرآن

    “Telah menyebutkan Khallal dari Imam Sya’bi. ia ber¬kata : adalah beberapa golongan Anshar (shahabat atau tabi’ien), jika mening¬gal dunia diantara mereka, maka secara berkali-kali me¬reka kekuburan membaca Qur’an padanya { Al- Arabi, Is ‘aful Muslimin Wal Muslimat, 22,32}

    وفى رملى على المنهج إنّ ا لدعاء بوصول ثواب ا لقرآن للميّت مقبول قطعا قال الشبرامليسى على رملى أنّه إن نوى ثواب قراءته أو دعا عقبها بحصول ثوابها للميّت أو قرأ عند قبره حصل للقارئ أيضا الثواب
    “Dan perkataan Imam Ramli atas kitab MINHAJ : “Bahwasanya do’a minta sampaikan pahala-bacaan kepada mayit itu diterima dengan tidak ada khilaf (pasti). Dan berkata Imam Syabra Mullisi atas perkataan Imam Ramli : “Bahwasanya jikalau maksud pahala-bacaannya, atau berdo’a selanjutnya agar hasil pahalanya bagi mayit, atau membaca disisi kuburnya, maka hasillah pahala bacaannya itu (bagi mayit) dan hasil pulalah pahala itu bagi pembaca”.{ Al- Arabi, Is ‘aful Muslimin Wal Muslimat, 13}

    قال الشيخ محمد فالح فى أنجح المساعى وأمّا قراءة القرآن فالأرجح أنّ للإنسان ان يهدي ثواب عمله من قراءة وصلاة أو ايّ عمل برّ كان الى غيره هذا ما عليه أحمد وجماعة من أهل السنّة وأنّه يصله والأحاديث تؤيّده فقد تقدّم إقرؤا يّس على موتا كم واللفظ شمل بل هو الحقيقة فيه

    ‘Telah berkata As-Syekh Muhammad Faleh didalam kitab ANJAHUL MASA’I : Dan adapun bacaan Qur’an, maka yang lebih kuat bahwa bagi manusia boleh men-hadiahkan pahala-amalnya dari bacaan dan sembahyang atau amal kebajikan apa jua pun yang dihadiahkan ke¬pada orang lain (mayit). Inilah yang dipegang (sebagai pedoman) oleh Imam Ahmad dan golongan-golongan Ahlissunnah, bahwa pahala-amal itu sampai kepada mayit; dan beberapa hadits menguatkan akan pendapat ini. Maka sesungguhnya telah terdahulu hadits “Iqrauu ‘ala mautakum Yasin”, dan perkataan ini mengenai bagi orang yang sudah mati bahkan ma’na asal “mauta¬kum” itu (dalam arti yang hakiki) diartikan orang yang sudah mati”. { Al-Madani, Syekh Falih bin Muhammad, Anjahul Masa’te, Mesir, Hasimiyah, 1331 H, 56}.

    Di dalam kitab RUH, Ibnu Qayyim telah menyebutkan bahwa menurut pendapat Imam Ahmad dan golongan salaf, pahala ibadat badaniah itu sampai ke¬pada mayit seperti halnya sembahyang, puasa, bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pekerjaan tersebut telah diamalkan oleh orang sehingga yang memungkiri akan sampainya pahala tersebut pun turut juga mengamalkannya pada setiap masa dan negeri tanpa diingkari oleh Ulama-Ulama. Adapun yang menyatakan tidak sampainya pa¬hala bagi mayit itu adalah pendapat bagi ahli bid’ah.{ Al Jauziyah, Al Imam Syamsuddin Abu Abdillah Bin Qoyyim. Arruh. Al Riyadh, 10}

    Selanjutnya oleh Badrul’aini Al-Hanafie dikatakan pula bahwa segala macam kebaikan daripada sembah¬yang, puasa, haji, shadaqah, bacaan Al-Qur’an, dzikir dan lain-lainnya itu sampai kepada mayit.

    وقد تواتر أنّ الشافعى زار الليث بن سعد وأثنى جيلاا وقرأ عنده ختمة وقال أرجو أن تدوم الأمر كذلك

    ‘Telah tersiar berita berturut-turut, bahwa Imam Syafi’ie berziarah ke kubur Al-Laitsu bin Saad, dan memuji-muji atasnya serta membaca (Al-Qur’an) disisinya satu kali khatam, dan berkata : “Aku berharap semoga terus-menerus ada pembacaan (dikubur), maka begitulah pembacaan itu terus-menerus dikerjakan”.

    عن أبى الفتح نصر الله بن محمد عبد القويّ يقول توفي نصر بن إبراهيم المقدّسى فى يوم الثلاثاء التاسع من محرّم 390 بد مسق وأقمنا على قبره سبع ليال نقرأ القرآن كلّ ليلة عشرين ختمة

    “Dari Abil-Fatah Nasrullah bin Muhammad Abdul Qawi Al-Mushishi, ia berkata : telah wafat Nashar bin Ibrahim Al-Muqadisi pada hari Selasa, tgl. 9 Muharram th. 490 di negeri Damsyik, dan kami telah berdiam di¬atas kuburnya selama 7 malam membaca Al-Qur’an dua puluh khatam tiap-tiap malam (tercantum dalam kitab FATAWA ASSAYUTHI hal. 392)”. {. Al-Sayuthi, Al Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Hawi Lil Fatawa, Mesir, Al Qudsi, 1351 H, 392}

    Dengan keterangan-keterangan dari beberapa Ulama Muhadditsin/ Fuqaha’ tersebut, maka jelaslah telah memperkuat kedudukan dari hadits “Iqrauu Yasin …. dst”. Selanjutnya perlu kita sekarang mengetahui tentang pe-ngertian “mautakum” dari hadits tersebut.

    Pengertian Mautakum

    Untuk menghiiangkan segala keragu-raguan dan persoalan-persoalan yang mungkin timbul dikalangan masyarakat, maka dalam bagian ini penulis memberikan penjelasan sedikit tentang pengertian mautakum yang terdapat dalam hadits ”
    إقرؤا يّس على موتا كم
    sebagai berikut :

    قال محبّ الدين الطبرى المراد الميّت الذى فارقته روحه وحمله على تامحتضر قول بلا دليل وفى شرح رياض الصالحين وأجاز التور بشتى فى حديث إقرؤا يّس على موتا كم حمله على المجاز وعلى الحقيقة وعليه أصحاب الشافعى وجمع من الأمّة

    ‘Telah berkata Muhibuddin Atthobari : “Bahwa yang dimaksudkan deagan mayit itu ialah orang yang berpisah ruhnya. Dan orang yang mengartikan bahwa mayit itu adalah orang yang hampir mati, itu tidak beralasan. Dan di dalam SYARAH RIYADHUSHALIKHIN, Imam Atturi Bisyti membolehkan pada hadits “Iqrauu Yasin ala mautakum” mengartikan (perkataan mautakum) atas segala orang yang hampir mati dan orang yang sudah mati. Dan atas dasar inilah golongan Syafi’ie dan kebanyakan ummat” (Membacakan Yasin atas segala orang yang hampir mati atau sudah mati)”. { Al-Arabi, Is’afulMuslimin Wal Muslimat, 7}

    Selanjutnya ikutilah bagian kesimpulan-kesimpulan.

    Kesimpulan-kesimpulan.

    Dengan adanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan yang penulis uraikan semuanya itu, maka berbagai kesimpulan dapat kita ambil dari padanya yaitu :

    1. Bahwa berdasarkan qaidah dari Ilmu Hadits, maka kedudukan dari hadits yang berbunyi :
    إقرؤا يّس على موتا كم
    itu meskipun kcdudukannya dhaif’/lemah, akan tetapi oleh karena adanya syahid/penyaksi/penguat daripada yang lemah tersebut, maka kedudukannya menjadi kuat dan dapat dijadikan hujjah. Hal ini telah diperkuat pula dengan keterangan-keterangan yang diberikan oleh para ulama Muhadditsin /Fuqahaa’, dalam bentuk perkataan dan perbuatan orang-orang yang dahulu.

    Adapun hal-hal yang menguatkan hadits tersebut antara lain :

    a. Perkataan Syafwan bin Amr (seorang tsiqah tabi’ien), dari gurunya ia berkata : “Apabila dibacakan Yasin kepada mayit, maka diringankan dia dengannya”. Yang dimaksudkan dengan guru disini ialah salah se¬orang dari golongan shahabat atau tabi’ien besar, dan perkataan seperti yang tersebut diatas ini tidak diucapkan dengan ijtihad. Maka hukumnya marfu’ sampai kepada Nabi dan Isnadnya hasan.{ Al-Shiddiqi, Syarhul Adzkar, Juz IV .120}

    b. Diriwayatkan oleh Addailami (pengarang kitab MUSNADUL FIRDAUS), dari jalan Marwan bin Salim, dari Syafwan, dari Amr, dari Syureh, dari sahabat Abi Darda’ dan shahabat Abi Dzar.

    c. Riwayat dari Abu Syekh Abdillah bin Muhammad Al-Anshari (wafat th. 369 H.) dari Abi Dzar.

    d. Dari jalan Jabir bin Zaid (seorang tsiqah tabi’ien), seperti inilah Al-Hafizh Ibnu Hajar. { Al-Shiddiqi, Syarhul Adzkar, Juz IV .120}

    e. Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab SYUABIL MAN dengan sanadnya dari Abi Qilabah (seorang tabi’ien) pada hadits yang panjang, disebutkan : “Barang siapa membaca Yasin disisi mayit, niscaya diringankan atasnya (mayit). Menurut Imam Baihaqi, jika hadits ini sah dari Abi Qilabah, maka tidak ada lain kecuali dari Nabi saw.

    f. Disebutkan oleh Imam Khallal dari Sya’bi (seorang tsiqah tabi’ien) dan telah bertemu 500 shahabat, Imam Sya’bi berkata : “Adalah beberapa golongan dst. (golongan Anshar tersebut boleh dikatakan termasuk golongan shahabat atau tabi’ien). Seperti ini¬lah Hafizh ibnu Hajar menyatakan dalam kitab SYARAH ADZKAR hal. 119.

    g. Dikatakan oleh Atsar Abi Khaitamah (seorang tabi’¬ien besar), ia berkata : “Bila dibacakan Qur’an disamping orang yang sedang sakit, niscaya mendapat keringanan (dengan itu).

    h. Diriwayatkan oleh ibnu Abi Dawud, dari jalan Khalid ibnu Ma’dan ( seorang tsiqah tabi’ien), ia membaca Surat As-Shaffaat disamping orang yang hampir mati. { Al-Shiddiqi, Syarhul Adzkar, Juz IV .120}

    Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam-Imam tersebut merupakan/berisi mengenai bacaan terha-dap ahli kubur (mayit). Dan Imam Syaukani menyatakan, bahwa hadits :
    إقرؤا يّس على موتا كم
    ” itu adalah hasan.

    Telah berkata Syaikhuna Muhammad Al-Arabi,”Bah¬wa berdiamnya Abi Dawud mengenai hadits “Iqrauu …. dst.” itu, jika hadits ini kedudukannya tidak shahih sedangkan Ibnu Hibban menyatakannya shahih, maka hadits ini diterima tidak jauh dari derajat hasan lighairihi. Karena itu hadits ini dapat dijadikan hujjah, tidak peduli lagi terhadap pendapat seseorang setelah ada perintah Nabi saw dengan bacaan Yasin itu”. { Al-Arabi, Is ‘aful Muslimin Wal Muslimat, 6}

    Telah berkata pula Ibnu Qayyum : “Sesungguhnya disebutkan dari jamaah Salaf, mereka itu berwasiat, bahwa diwaktu mengubur mayit dibacakan Surat Yasin disisi kubur mereka. { Al Jauziyah, Al Imam Syamsuddin Abu Abdillah Bin Qoyyim. Arruh. Al Riyadh, 10}

    Dengan penyaksi-penyaksi (syahid) dan perkataan serta perbuatan shahabat dan tabi’ien dan tabiut-tabi’ien ini merupakan tiga qurun yang dinamakan “khairul-qurun”, yang di dalam hadits disebut : “khairul-quruni qarni”.

    Dengan adanya penyaksi-penyaksi tersebut cukup untuk dijadikan pegangan dalam kita mengamalkan bacaan tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan pendapat dari Isa bin Aban, yang menyatakan : “Jikalau mursal itu dari tabi’ien dan tabi’ut-tabi’ien, maka diterima dengan mutlak karena didalam qurun yang ketiganya itu terdapat banyak adil dan tidak banyak dusta; maka zhahirnya orang yang melang¬sungkan itu tadi (mursil) mendengar dari orang yang adil.”{ Al-Makki, Muhammad Yahya Aman, Nuzhatul Musytaq, Kairo, Hijzi, 1370 H, 449}.

    2. Bahwa perkataan mautakum dari hadits tersebut dapat diartikan segala orang yang sudah mati dan orang yang hampir mati, seperti disebutkan oleh Imam Atturi-Bisyti di dalam SYARAH RIYADHUSHALIHIN. Dan di dalam makna yang hakiki maka perkataan mautakum itu adalah terhadap orang yang sudah mati, kata Assyekh Muhammad Falih.

    3. Bahwa untuk lebih memperkuat pengertian mautakum itu terhadap orang yang sudah mati, maka dibawah ini penulis tambahkan keterangan-keterangan sebagai berikut :

    a. Di dalam hadits yang diriwayatkan Al-Khamsah kecuali Nasa’ie dan mensahkan Turmudzi, disebut¬kan :

    وكفّنوا فيها موتاكم

    “Dan kafankanlah padanya orang-orang yang mati diantara kamu”.

    b.Hadits Nabi saw yang berbunyai:
    اذكروا محاسن موتاكم وكفّوا عن مساويهم

    “Sebutkanlah olehmu akan kebaikan-kebaikan mayit-mayitmu dan tahanlah olehmu akan kejahatan-kejahatan mereka”. { HR. Tirmidzi dan Abu Dawud }.

    c.Perkataan Ayub yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak :

    تعرضوا أعمال الأحيآء على الموتى
    “Dinampakkan segala amal orang yang hidup atas orang yang sudah mati”.{ Al-Haitami, Al Fatawal Kubro, Juz II, 29}

    d.Perkataan Ibrahim bin Shaleh yang diriwayatkan dari Ibnu Abiddunia sebagai berikut :
    بلغنى انّ أعمال الأحيآء تعرض على أقاربهم من الموتى

    “Telah sampai berita kepada kami bahwa segala amal orang yang hidup dinampakkan atas kerabat-kerabat mereka dari orang-orang yang sudah mati”?{ Al-Haitami, Al Fatawal Kubro, Juz II, 29}

    4. Bahwa beramal kebajikan untuk orang lain itu tidak dilarang oleh Syara’ seperti membacakan Qur’an, mendo’akan dan sebagainya. Hal ini diterangkan juga oleh Kamal Ibnul Humam sebagai berikut : artinya :

    قال العلاّ مة الكمال بن الهمّام يبلغ القدر المشترك بين الكلّ وهو
    أنّ من جعل شيئا من الصالحات لغيره نفعه الله مبلغ التواتر

    ‘Telah berkata Kamal Ibnul Humam :”Bahwa sesungguhnya barang siapa yang menjadikan sesuatu daripada amal-amal kebajikan untuk orang lain, niscaya Allah swt memberi manfaat padanya; Hal ini sampailah pada tingkatan Mutawatir, yakni Ma’nawi”.{ Al-Arabi, Is ‘aful Muslimin Wal Muslimat, 36.

    5. Bahwa bacaan dan kemudian berdo’a untuk minta sampaikan pahalanya bagi si-mayit itu, dapat dilakukan baik diatas kuburan maupun di rumah atau masjid dan sebagainya. baik secara perorangan maupun secara berkumpul (berjamaah).

    6. Bahwa manfaat bacaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk mayit itu tidak terbatas pada surat Yasin atau Kulhu Allahu Ahad saja, asal ia sunyi daripada maksiat.. Ada-pun mengenai do’a minta sampaikan pahala bacaan ke¬pada si-mayit itu, akan diterima dengan tidak khilaf dan pahala bacaannya akan berhasil baik bagi si-mayit mau¬pun bagi pembaca.

    BERSHADAQAH UNTUK MAYIT
    Benarkah bershadaqah untuk mayit itu hukumnya sunnat?. Dibawah ini akan penulis jelaskan bahwa segala macam shadaqah yang ditujukan untuk orang yang telah meninggal dunia itu hukumnya adalah sunnat. Agar persoai-an ini lebih jelas. maka penulis bagi dalam 3 bagian. yaitu :

    1. Shadaqah dalam bentuk makanan.
    2. Shadaqah dalam bentuk amal-kebaikan.
    3. Kesimpulan-kesimpulan.

    A. Shadaqah Dalam Bentuk Makanan

    Sering dan hampir setiap hari kita mengikuti upacara-upacara selamatan (tahlil dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan di negara kita, bahkan juga dinegara-negara (Islam) lainnya di dunia ini. Pada umumnya upacara-upacara semacam itu diakhiri dengan menghidangkan makanan-makanan ala-kadarnya dalam bentuk yang bermacam-macam. Adakah hal ini dibolehkan oleh syari’at agama Islam? Dibawah ini penulis berikan jawabnya dengan menunjukkan beberapa buah hadits sebagai berikut :
    Hadits I :

    عن عبد الله بن عمر وأنّ العاص بن وائل نذر فى الجاهليّة أن ينحر مائة بدنة وأنّ هشام بن العاص نحر حصّته خمسين وأنّ عمرا يسأل النّبيّ صلى الله عليه وسلّم من ذلك فقال أمّا أبوك فلو أقرّ بالتّوحيد غصمت أو تصدّقت عنه نفعه ذلك
    “Dari Abdillah bin Amr, bahwa Ash bin Wail (yaitu ayahnya Amr) telah bernadzar pada zaman jahiliah akan menyembelih 100 unta, dan bahwa Hisyam bin ‘Ash (yaitu saudaranya Amr) telah memotong bagiannya 50 unta, dan bahwa Amr (yaitu ayah Abdillah) bertanya kepada Nabi saw. tentang hal itu, maka bersabda Nabi saw : “Adapun ayahmu jika mengaku dengan tauhid (yakni beriman); maka berpuasa engkau atau bershada¬qah untuk dia, niscaya menjadi manfaat yang dernikian itu bagi ayahmu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad). { Al-Arabi, Muhammad, Is’aful Muslimin Wal Muslimat, Jeddah, Al fatah, t.t, 76.}

    Hadits II :
    أخرج الإمام أحمد بن حنبل فى كتاب الزهد حدّثنا هاشم بن القاشم جدّثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاووس إنّ الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبّون أن يطعموا تلك الأيّام

    ‘Telah meriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal didalam kitab AZZUHD, telah menceriterakan kepada kami, Hasyim bin Qasim, ia berkata, telah menceriterakan kepada kami, Al-Asyja’ie dari Sufyan, ia berkata, te¬lah berkata Thowus : “Bahwasanya orang-orang yang te¬lah meninggal dunia itu difitnah(mendapat pertanyaan dari malaikat Mukar dan Nakir) dalam kuburnya selama 7 hari, maka adalah mereka itu (shahabat-shahabat) membaguskan akan shadaqah makanan untuk orang-orang yang telah meninggal dunia itu selama hari-hari tersebut. { Al-Sayuthi, Al Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Hawi lil Fatawa, juz II. Mesir, Al Qudsi, 1351 H, 370-37}.

    Kedudukan para Rawi atas Hadits tersebut adalah sangat kuat dan dapat dipercaya.

    Siapakah Thowus, Sufyan dari Al-Asyja’ie itu?

    1. Thowus, nama lengkapnya ialah Thowus bin Kisan Al-Yamani. Beliau termasuk salah seorang tabi’ien besar. Abu Nu’aim dalam kitab “Al-Hilyah” menyatakan bah¬wa, kedudukan Thowus itu berada pada tingkat tertinggi dari pada orang-orang Yaman. Dikatakan bahwa Thowus sempat bertemu dengan 50 sahabat Rasulullah SAW. Dan di dalam riwayat lain diceritakan bahwa Thowus sempat bertemu dengan 70 orang guru dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Selanjutnya Abdul Malik bin Maisaroh menyatakan bahwa Ibnu Hibban telah menceritakan : Thowus adalah salah seorang penduduk Yaman yang ‘abid (ahli ibadah) lagi dapat dipercaya (tsiqoh), termasuk golongan tabi’ien yang terkemuka dan telah melaksanakan ibadah Haji sebanyak 40 kali. Beliau tetmasuk orang yang do’anya mustajab”.{ Al-Asqolani, Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut-Tahdzib. Juz V. India, Dairah Al Ma’arif Al-Nizhamiyah, 1352 H, 8.}

    2. Sufyan, nama lengkapnya ialah Sufyan bin Said bin Masruq Al-Tsauri Al-Kufi, bukan Sufyan bin Uyainah. Ibnu Sa’ad dalam kitab “Al-Hawi Lil Fatawa” antara lain menyatakan dengan jelas bahwa Sufyan sempat ber¬temu dengan Thowus. Sufyan lahir dalam tahun 97 H. dan wafat tahun 161 H. Sedang Thowus wafat di atas tahun 110 H”.{ Al-Sayuthi, Al-Hawi lil Fatauy, 371}

    Selanjutnya Syu’bah, Ibnu ‘Uyainah, Abu ‘Ashim, Ibnu Ma’ien serta beberapa Ulama terkemuka lainnya menyatakan bahwa Sufyan adalah amirul-mu’minin dalam urusan Hadits.

    Ibnu Mubarok berkata : “Aku telah sempat menulis biografi 1100 guru-guru (syekh) dan tidak kudapati orang yang lebih afdhol selain dari pada Sufyan”.

    Selanjutnya Imam Adduri menceritakan pula bahwa beliau telah melihat Yahya bin Ma’ien tidak mendahulukan (melebihkan) seseorang di atas Sufyan dalam urusan-urusan Fiqh, Hadits, Zuhud dan lain-lain. Sedang Ibnu Abi Dzib antara lain menyatakan bahwa Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Sufyan telah mencapai 30.000 buah Hadits.{ Al-Asqolani, Tahdzibut-Tahdzib, Juz IV, 113}

    3. Al-Asyja ‘ie, nama lengkapnya ialah Ubaidullah bin ‘Ubaidur Rahman Al-Asyja’ie Al-Kufi. Al-Asyja’ie menceritakan bahwa ia telah mendengar sebanyak 30.000 Hadits dari Sufyan Al-Tsauri. Selan¬jutnya Imam Adduri dari Ibnu Ma’ien demikian juga Annasa’ie dan lain-lain menyatakan bahwasanya Al-Asyja’ie adalah seorang yang dapat dipercaya (tsiqoh).{ Al-Asqolani, Tahdzibut-Tahdzib, Juz IV, 113}

    قال ابن جريج فى مصنّفه عن الحارث ابن أبى الحارث عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق فامّا المؤمن فيفتن سبعا وأمّا المنافق فيفتن أربعين صباحا

    ‘Telah berkata Ibnu Juraij dalam mushonnafnya dari Harits ibnu Abil Harits dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Orang Mu’min dan orang munafiq difitnah (dalam kuburnya). Adapun orang mu’min difitnah selama tujuh hari sedangkan orang munafiq selama empat puluh pagi”.{ Al Sayuti, AlHawi lil Fatawa. juz II 370-371}.

    Siapakah Ubaid, Harits dan Ibnu Juraij itu?

    a. Ubaid, nama lengkapnya ialah Ubaid bin Umair bin Qotadah bin Sa’id Al-Laitsi. Menurut Imam Muslim bin Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim) bahwa Ubaid dilahirkan di zaman Nabi SAW. Dan di dalam riwayat lain diceritakan bahwa Ubaid pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ubaid adalah termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ubaid bin Umair tersebut telah diambil (diterima) sebagai hujjah (dalil) oleh Ibnu Abdil Bar karena dipandang lebih besar (dikalangan Tabi’ien) dari pada Thowus. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Ubaid bin Umair adalah termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, lahir di zaman Nabi dan sebagian hidupnya dimasa Sayidina Umar bin Al Khatthab dan Mujahid. Beliau meninggal dunia sebelum mening-galnya Ibnu Umar.

    b. Harits, nama lengkapnya ialah Abdurrahman bin Abdul¬lah bin Sa’ad bin Abi Dzubab Addausi Al-Madani.
    Imam Bukhori dalam : خلق أفعال العباد
    Demi¬kian juga Imam Muslim dalam kitab Shahihnya ada menceritakan Hadits-hadits yang bersumber dari padanya. Selanjutnya Imam Ibnu Hibban menggolongkannya dalam kelompok orang-orang tsiqoh (dapat dipercaya). Beliau meninggal pada tahun 146 H.

    c. Ibnu Juraij, nama lengkapnya ialah Imam Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij Al-Umawi. Di dalam kitab Tahdzibut-Tahdzib, bahwa beliau adalah seorang yang ahli ibadah (‘abid), alim dalam ilmu Fiqh seorang yang jujur (shoduq) serta dapat dipercaya (tsiqoh). { Al Sayuti, AlHawi lil Fatawa. Juz VI, 402-406}

    Dengan menjelaskan kedudukan para Rawi tersebut, maka riwayat atas Hadits tersebut di atas menurut Ulama’ Hadits dan Usul telah dihukumkan “Mursal-Marfu’ ” (artinya sampai kepada Nabi saw) sebab persoalan-persoalan yang menyangkut masalah barzakh dan akhirat sebagaimana riwa¬yat tersebut di atas tidak mungkin dapat dicapai oleh akal ataupun dengan ijtihad.

    Imam-imam Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bah¬wa, apabila riwayat itu datangnya dari Tabi’ien, maka di¬hukumkan Mursal-Marfu’ (artinya yang didengar dari Nabi saw) sekalipun Rawinya tidak menisbahkannya secara terang-terangan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Karenanya menurut ketiga Imam tersebut, kedudukan Rawi yang bersifat “Mursal-Marfu’ ” tersebut dapat dipergunakan se¬bagai hujjah (dalil). Sedangkan menurut madzhab Syafi’ie, Mursal dapat dipergunakan sebagai hujjah apabila dikuatkan oleh yang lain.

    Kemudian perlu dijelaskan disini, bahwa Hadits rrwayat dari Ubaid tersebut adalah merupakan penguat dari “Mursal-Thowus”. Dan apabila Ubaid dimasukkan ke dalam golongan sahabat Nabi saw (Shahabi), maka jadilah riwayatnya ber¬sambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk lebih jelasnya dapat diutarakan hal-hal sebagai berikut:

    a. Apabila riwayat itu dihukumkan “Marfu’ “, berarti orang-orang di zaman Nabi Muhammad SAW. telah pernah melakukan perbuatan tersebut pada waktu Nabi masih hidup serta diketahui pula oleh Beliau saw dan Beliau saw bersikap diam. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dilarang dan bisa dipergunakin sebagai hujjah.

    b. Apabila riwayat itu dihukumkan “hanya sarnpai kepada sahabat saja”, berarti bahwa perbuatan tersebut telah dilakukan oleh para Sahabat sesudah Nabi wafat, atau oleh sebagian mereka sedang sebagian yang lain bersikap diam, maka menjadilah ia “Ijma’ Sahabat”, atau dengan perkataan lain bahwa perbuatan tersebut telah masyhur dikerjakan di masa itu tanpa ada yang menging-karinya.{ -Haitami, Ibnu Hajar, Al Fatawal Kubro. Juz II Mesir: Abdul Hamid Ahmad Hanafi, t.t, 30

    Hadits (3).

    عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلّم فى جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يوصى الحافريقول أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمّا رجع إستقبله داعى امرأته اى زوجة المتوفّى فأجاب فنحن معه , فجئ بالطعام فوضع يده ثمّ وضع القوم فأكلوا ونظرنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم يلوك اللقمة فى فيه ثمّ قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة تقول : يا رسول الله ! إنّى أرسلت إلى البقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشتري لى شاة فلم توجد فأرسلت إلى جار لى قد إشترى شاة أن يرسل بها إليّ بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إليّ بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم أطعمى هذا الطعام الأسرى

    “Dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari seorang shahabat Anshar, ia berkata : “kami telah keluar menyertai Rasulullah saw. mengiring jenazah, maka kulihat Rasulullah s.a.w. berwasiat/menyuruh kepada tukang gali kuburan, kata beliau : “luaskan arah kedua kakinya, luaskan arah kepalanya”. Maka tatkala beliau pulang, beliau dijumpai oleh pesuruh dari pihak isterinya yakni isteri si-mayit, maka datanglah Nabi saw dan kami menyertainya. Lalu disajikan makanan; maka beliau menaruh tangannya, kemudian kaum (shahabat-shahabat) pun menaruh tangannya, lalu mereka makan. Dan kami lihat Rasulullah s.a.w. mengunyah sesuap makanan di dalam mulutnya.
    Kemudian beliau berkata : “Kudapati daging kambing yang telah diambil dengan tidak seizin ahlinya (yang empunya); maka segeralah isteri si-mayit itu berkata : ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyuruh orang ke Baqi’ yaitu tempat dimana dijual kambing agar membelikan aku seekor kambing, tetapi tidak didapat. Lalu aku suruh keseorang tetanggaku yang telah membeli seekor kambing agar supaya ia me-ngirimkan kambing itu kepadaku dengan berapa harganya, maka tidak didapat tetangga itu. Lalu aku suruh ke-isterinya, maka dikirimkannya kambing itu kepadaku. Maka bersabda Rasulullah saw. : “Berikanlah makanan ini kepada tawanan-tawanan. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan Abi Dawud dan Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwah dan dengan lafazh-nya sendiri).{ Al-Sayuthi, Al-Hawi HI Fatawa, Juz II, 370-371 Al-Asqolani, Tahdzibut-Tahdzib. Juz II, 148}.

    Kesimpulan dari isi Hadits tersebut diatas ialah

    a. Bahwa sepulang Nabi Muhammad SAW dari mengantar jenazah ke kubur, beliau beserta para sahabat telah memenuhi undangan untuk ikut menghadiri jamuan makan.
    b. Bahwa orang yang mengundang dan memberi jamuan makan tersebut adalah seorang wanita, yaitu istri si-mayit. Hal ini jelas serta sesuai pula dengan kalimat yang berbunyi ”
    داعى امرأته
    ” (pesuruh dari isteri si-mayit). Jadi dengan demikian bukan wanita lain selain dari istri si mayit tersebut. Mengenai adanya keterangan-keterangan atau riwayat-riwayat yang lain yang menyatakan bahwa wanita yang mengundang itu adalah dari kalangan bangsa quraisy menunjukkan bahwa wanita isteri si mayit tersebut adalah dari golongan bangsa Quraisy. Dengan demikian antara riwayat-riwayat ter¬sebut tidak ada pertentangan satu sama lain, bahkan se-baliknya yaitu saling jelas menjelaskan.

    c. Bahwa kalimat “( زوجة المتوفّى ) ” dalam Hadits ter¬sebut, baik dilihat dari lughoh (bahasa) maupun gramatika bahasa Arab, sama sekali tidak ada mengandung pertentangan ataupun kesalahan. Sebagai koreksi atas kebenaran kalimat tersebut di atas, kiranya dapat dili-hat/dibaca pada kitab-kitab antara lain :

     Kisykatul Mashobih, halaman 544,.
     ‘Aunul Ma’bud, Juz III, halaman 249.
     Badzlul Majhud, Juz 14, halaman 295.
    Di dalam kitab-kitab tersebut jelas tertulis kalimat

    ‘ زوجة المتوفّى Tidak ada seorangpun di antara pengarang kitab tersebut yang menyatakan misalnya bahasanya ataupun nahwu-sharafnya adalah tidak benar.
    Selanjutnya perlu pula penulis utarakan di sini ungkapan yang dikemukakan oleh Assyekh Muhammad Ali bin Husain Al-Maliki, antara lain : beliau menyatakan bahwa berkumpul dan jamuan yang diadakan oleh keluarga mayit itu bisa dihukumkan Bid’ah muharromah atau makruhah sebagaimana yang tertera dalam Hadits riwayat Abdullah bin Ja’far dan Hadits riwayat Jarir bin Abdullah, bila tidak terdapat dalil yang menentangnya. Namun jika ada dalil-dalil yang berlawanan dengan kedua Hadits tersebut, yaitu seper¬ti Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunnahnya dan Al-Baihaqi dalam Dalailun-Nubuwwah yang lafaznya menurut Al-Baihaqi : “Dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari seorang sahabat Anshor, ia berkata : “Kami telah keluar menyertai Rasulullah SAW. mengiringi jenazah …. dst”, maka seyogyanya Hadits yang terdahulu (yang melarang adanya jamuan tersebut) diartikan bahwa jamuan yang diselenggarakan oleh keluarga mayit itu, apabila dananya diambilkan dari harta warisan padahal si mayit masih mempunyai tanggungan hutang, atau diantara ahli waris terdapat anak kecil yang masih belum sah tindakannya (mahjur alaih), atau ada yang tidak berada ditempat (ghoib) atau ada yang belum diketahui ridhonya dengan pasti.
    Sedangkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ashim yang membolehkan adanya jamuan makan, hukumnya adalah Sunnah, sepanjang harta yang dipergunakan untuk jamuan makan itu tidak diambilkan dari harta waris, tapi diambil¬kan dari seseorang tertentu diantara ahli waris (jadi bukan dari harta si-mayit yang belum dibagi) atau dari harta si-mayit yang tiada ahli waris lain kecuali orang tertentu tadi, atau dari sepertiga harta warisan apabila si mayit berwasiat agar diadakan jamuan untuk para pembaca Al-Qur’an dan hadirin lainnya untuk membaca tahlil, atau untuk fakir miskin serta arrul-amal sosial lainnya (mabarrot).
    Pengertian mi diambil berdasarkas kaklah bahwa mengamalkan menggunakan dua dalil dengan cara menggabungkan keduanya dan/atau mengelakkan pertentangan antara keduanya adalah lebih baik (utama) dari pada membuang salah-satu-nya hanya disebabkan karena tampaknya bertentangan.{ Al-Maliki, As syekh Muhammad Ali Bin Husin, Bulughul Umniyah, Jedah, Al-Haramain, t.t, 19}..

    Menurut Ibnu Hazmin dalam kitabnya “Al-Muhalla” menyatakan bahwa mengumpulkan (mengkompromikan) ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW sebagian dengan sebagian yang lain adalah wajib. Tidak boleh mempertengkarkan sebagian dengan sebagian yang lain karena semua ucapan be¬liau itu hakikatnya adalah benar (haq) dari Allah azza waja-Ua. Dan di dalam kitab:
    إقامة الدليل علىبطلان التحليل

    Ibnu Taimiyah antara lain menyatakan sebagai berikut :” Bahwa Hadits Mursal yang baginya ada (Hadits lain) yang mencocokinya, atau ia telah diamalkan oleh orang-orang salaf, maka Hadits Mursal itu menjadi hujjah (dalil). Hal ini sudah menjadi kesepakatan para Ulama “Fiqh”.

    .

    Hadits (4).

    عن أبى هريرة رضي الله عنه أنّ رجلا فال للنّبيّ صلى الله عليه وسلّم أنّ أبى مات ولم يوص أفينفعه ا، اتصدّ ق عنه قال نعم

    “Dari Abi Hurairah r.a., bahwa seorang lelaki telah ber¬kata pada Nabi saw : “Bahwasanya ayahku telah meninggal dunia dan tidak berwasiat, Adakah bermanfaat shadaqahku baginya? Nabi saw telah bersabda :”Ya!” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’ie dan Muslim dan Ibnu Majah). { Muslim, al Imam, Shoheh Muslim, Juz II, 13}

    B. Shadaqah Dalam Bentuk Amal-kebaikan

    Bentuk shadaqah untuk mayit itu tidak hanya terbatas pada makanan saja, tapi dapat pula dalam bentuk amal-kebaikan, seperti menyembahyangkan, mempuasakan dsb. Untuk hal ini penulis menunjukkan hadits-hadits seperti tersebut dibawah ini:

    Hadits 1

    عن الإمام الدار قطنى أنّ رجلا سأل النبيّ صلى الله عليه وسلّم فقال : كان لى أبوان أبرّهما فى حياتهما فكيف لى ببرّهما بعد موتهما فقال صلى الله عليه وسلّم أنّ من البرّ بعد موتهما أن تصلّى لهما مع صلا تك وتصوم لهما مع صيامك

    “Dari Imam Darquthni, bahwasanya seorang lelaki te¬lah bertanya kepada Nabi saw., dan berkatalah ia :”Adalah bagi saya dua ayah-ibu, saya berbakti kepada ke-duanya semasa hidupnya; dan bagaimanakah bagi saya berbuat bakti kepada keduanya sesudah wafatnya? Maka bersabdalah Nabi s.a.w. : sesungguhnya berbuat bakti sesudah wafatnya, hendaklah kamu sembahyang untuk keduanya beserta sembahyangmu, dan hendaklah pula kamu puasa untuk keduanya beserta puasamu”.{ Al-Arabi, Is’aful Muslimin Wal Muslimat, 14}

    Keterangan :
    Had its ini menunjukkan sampainya pahala sembahyang dan puasa kepada orang yang meninggal dunia (baik fardhu atau sunnat).

    Hadits(2).

    عن عائشة رضي الله عنها أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال من ماتوعليه صيام صام عنه وليّه

    “Dari ‘Aisyah r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :”Barangsiapa meninggal dunia padahal ada tanggungan puasa, maka niscaya walinya mempuasakan dia”. (Diriwayatkan oleh Muslim).{ Al Sijistani Al Azdi, Al Imam Al Hafidz Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz III, 237 }

    Hadits (3).

    عن ابن عبّاس رضي الله عنه أنّ امرأة من جهينة جآءت إلى النبيّ صلّى الله عليه وسلّم فقالت يت رسول الله أنّ أمّى نذرت أل تحجّ فلم تحجّ حتّى ماتت أفحجّ عنها قال نعم حجّى عنها أرأيت لو كان عليها دين أكنت قاضية إفضوا الله فالله أحقّ بالقضاء

    “Dari ibnu Abbas r.a. bahwasanya seorang perempuan dari golongan Juhainah datang kepada Nabi s.a.w. lalu berkata : sesungguhnya ibu saya bernadzar hendak haji, maka sampai wafat ia belum haji. Apakah boleh saya hajikan dia? Sabda beliau : ya, (boleh) hajikan dia, Ceriterakanlah jikalau ibumu berhutang, tidakkah eng-kau membayarkannya? Bayarlah kepada Allah (hak Allah), karena hak Allah lebih utama untuk disempurna-kan” (Diriwayatkan oleh Bukhari).{ Al Asqolani, Al Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Bar, Juz IV, Mesir, Al Bahiyah Al Misriyah, 1348 H, 495}

    Hadits (4).

    عن ابن عبّاس رضي الله عنه أنّ النبيّ صلّى الله عليه وسلّم سمع رجلا يقول لبّيك عن شبرمة قال ومن شبرمة قال أخ لى أو قريب لى قال حجّجت عن نفسك قال لا فال حجّ عن نفسك ثمّ حجّ عن شبرمة

    “Dari ibnu Abbas, r.a., bahwasanya Nabi saw mendengar seorang lelaki berkata, “labbaika” dari Syubru-mah. Telah bersabda beliau saw : “Siapakah Syubrumah itu? Jawabnya saudara bagi saya atau kerabat bagi saya. Telah bersabda beliau saw : “Sudahkah engkau “Hajikan dirimu? Jawabnya tidak (belum). Lalu bersabda beliau saw : “Berhajilah kamu, kemudian hajikan Syubramah”. (Diriwa-yatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dan Baihaqi dan mereka ini mensahkan).{ Al Sijistani Al Azdi Al Imam Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II, 163}

    Keterangan :
    Hadits ini menunjukkan sampainya haji sunnat atau wajib dari orang lain untuk mayit.

    Hadits (5).

    عن جابر قال كان رسو ل الله صلّى الله عليه وسلّم لا يصلّى على رجل مات عليه دين فأتي بميّت فقال أعليه دين قالوا نعم ديناران قال صلّوا على صاحبكم قال أبو قتادة عليّ يا رسول الله فصلّى النبيّ صلّى الله عليه وسلّم فلمّا فتح الله على رسوله قال أنا أولى بكلّ مؤمن من نفسه فمن ترك دينا قعليّ قضاؤه ومن ترك مالا فلورثته

    “Dari Jabir, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw tidak menyembahyangkan atas seorang lelaki yang telah me¬ninggal dunia padahal ada tanggungan hutang. Lalu didatangkan dengan mayit, maka bersabdalah Nabi saw : “Adakah tanggungan hutang atasnya? Jawab mereka (Shahabat-sahabat) bahkan (ya) dua dinar. Sabda beliau saw .”Sembahyangkanlah atas temanmu itu”. Berkata Abu Qatadah,”Atas tanggungan sayalah hutangnya, hai Rasulullah. Maka sembahyanglah Nabi saw. Tatkala Allah swt sudah membukakan atas Rasul-Nya (yakni dapat menguasai beberapa negeri), bersabdalah beliau : “”Aku lebih utama dengan setiap orang mu’min daripada dirinya. Barangsiapa me¬ninggalkan hutang, maka ataskulah membayarnya, dan barang siapa meninggalkan harta, maka adalah bagi ahli warisnya”.{ Ali Nashif, Syekh Manshur, Attaj, juz II. Mesir, Daru Ikhya’ Al Kutub al-Arobiyah. t.t, 206}

    Keterangan :

    Hadits ini menunjukkan lepasnya tanggungan/hutang si-mayit dengan dibayarkan oleh orang yang hidup.

    C. Kesimpulan-kesimpulan.

    Dengan adanya keterangan-keterangan tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas, bahwa setiap shadaqah untuk mayit itu baik dalam bentuk makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh Syari’at Agama Islam. Dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis berikan dari keterangan-keterangan hadits-hadits tersebut diatas adalah sebagai berikut :

    1. Bahwa atsar Thowus itu menunjukkan tentang selamatan untuk mayit itu sudah ada sejak shahabat. Hal ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Ashim’bin Kulaib, yang menceriterakan tentang Nabi saw makan bersama shahabat-shahabat di rumah seorang wanita yang kematian suaminya. Dan di dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa shadaqah untuk mayit itu sampai kepadanya.

    Jadi dengan demikian, selamatan yang dikerjakan oleh ahli mayit yang merupakan shada¬qah untuk mayit berupa selamatan pada hari-hari pertama, ketiga, ketujuh dan sebagainya itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. Bahkan para Ulama di dalam fatwa-fatwa mereka membolehkan seseorang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bershadaqah untuknya setelah ia meninggal dunia.

    Imam Sayuthi berkata, bahwa telah sampai berita kepada kami bahwa cara mengadakan selamatan 7 hari terus menerus itu telah dilakukan orang sampai sekarang di Makkah dan Madinah. Dan yang jelas ialah bahwa perbuatan ter¬sebut tidak pernah ditinggalkan sejak zaman shaha-bat hingga sekarang, dan mereka rnencontoh dari para salaf (Salaf artinya orang-orang yang dahuhu (sebelum tahun 500 H.) sampai kepada shahabat.

    2. Di dalam kitab FATAWA-QUBRA, Ibnu Hajar telah menyebutkan sebagai berikut :

    إذالإطعام عن الميّت صدقة وهي تسنّ عنه إجمعا

    “Karena bershadaah makanan untuk mayit disunnahkan dengan ijma’.{ Al-Haitami, Al Fatawal Kubro, Juz II, 31.}

    3. Bahwa tentang berkumpul dan selamatan untuk menampakkan duka cita yang keterlaluan seperti meratap dengan disertai memukul-mukul muka dan merobek baju, itu hukumnya haram sebagaimana di-sebutkan dalam atsar Jarir, dari Jarir bin Abdillah yang berbunyi :

    كنّا نعدّ تاإجتماع إلى أهل الميّت وصنعهم الطعام من النياحة

    “Adalah kami (shahabat-shahabat) menghitung berkum-pulnya orang-orang ketempat ahli mayit dan disertai jamuan/makanan untuk mereka oleh ahli mayit itu termasuk niahah ( Niahah artinya perbuatan yang keterlaluan, seperti menangis dengan ucapan- ucapan yang tidak-tidak, meratap sambil memukul muka, merobek pakaian dan lain-lain sebagainya)”.{ Al-Maliki, Bulughul Umniyah, 215}

    Adat kebiasaan zaman dahulu wanita-wanita yang kematian, selalu meratap yang berlebih-lebihan. Karena meratap yang demikian itu hukumnya haram, maka berkumpul dan membuat makanan untuk menolong perbuatan ma’shiat itu juga termasuk haram.

  16. Abu senja berkata:

    Intinya apakah Tahlilan membatalkan keislamannya? atau kalau tdk tahlilan membatalkankan ke islamannya?…jawabannya ada pada masing2 orang, berdasarkan hidayah Allah…banyak manusia tdk dapat hidayah (Non Muslim). Maka patut kita syukuri dan selalu menghindari kata2 yg memprofokasi sesama kaum muslimin…tapi harus mempersatukan buka mengumbar kata2 yang menyonggung satu sama lain….kalau ada yg menyinggung masyalah fiqih dll. Maka jangan disebarluaskan yg akan memperjauh diantara seiman.cukup kita saja dan doakan semoga mereka dapat hidayah menurut keyakinan Anda…sebagaimana mereka punya keyakinan sendiri terhadapat masyalah tahlilan….alasan: Ada orang yang tdk mau tahlilan karena tdk ada contoh dari Nabi…karena Istri Nabi meninggal dan anak2 Nabi meninggal tdk ada yang tahlilan….lalu ada riwayat diatas bahwa tahlilan ada riwayat dari sahabat….kan tinggal ke cerdasan manusianya mau pilih Tahlilan atau tdk dua duanya ada alasan jadi…ayo umat islam bersatulah…dan bila da yang selalu semangat…berdakwah dengan segala keyakinannya jangan di vonis dan juga jangan memvonis hanya Allah yang berhak untuk itu.Saya sendiri tdk berani tahlilan alasan kalau itu syariat maka Nabi sudah di tegur oleh Allah…agar Tahlilan namun tdk ada riwayat…mohon maaf bagi yg tahlilan itu hak siapa saja….karena amalan kita diterima atau tdk itu hak Allah…dan Allahlah yg paling tahu mana yg benar mana yang salah. Semoga jadi renungan dan stop saling menyingung. Senyulah dan berlindunglah pada Allah agar selalu hati kita diberikan kelembutan.

    • ujok90070526ujok berkata:

      1.Ada orang yg mengatakan siapa yg mau tahlilan silahkan dan yg tidak mau juga silahkan..kedengarannya enak sekali…..Tapi kenyataannta apabila ada org tahlilan rame2 dibilang bid’ah.
      2.Tahlilan itu mubah ( boleh ), dan kalau harus ada contoh dari Nabi, misalnya Nabi tahlilan saat isterinya meninggal, maka hukumnya sudah pasti berubah menjadi sunnah Rasul atau bisa saja menjadi wajib…
      3.Hal yg penting adalah adakah dalil yg melarangnya seperti “Diharamkan bertahlilan atau diwajibkan bagi bertahlilan. kalau tidak ada yo wis meneng wae.

  17. S.hard say: berkata:

    perlu perenungan yg mendalam lagi

  18. Amin berkata:

    Izin copas ya mas…

  19. Rahmat berkata:

    Ya Allah, Ya WaaHid, Engkau Maha Satu, Maka kuatkanlah persatuan Muslim diantara Kami.

  20. halim abdul berkata:

    kalau tahlil haram maka alquran tidak pernah ditulis karena yang menyuruh menulis quran bukan rasulullah tapi sayidina umar bin khatab

  21. rina berkata:

    😙 ketahuan banget penulis ini adh aswaja bukan shalafushalih yg sebenarnya.
    Uraian panjang lebar tetapi tdk Ada hadist nabi yg shahih diselipkan ttg menyuguhkan makanan
    Saat Ada kerabat nabi yg meninggal adh bukan Dr keluarga yg meninggal itu sendiri melainkan tetangga/kerabat Dr keluarga yg meninggal.dan Rasul melarang pihak keluarga yg meninggal tuk mengadakan acara kematian

    Saya pegang byk dalil ttg itu Dan tdk satupun dalil tsb Ada diulasan ini

Tinggalkan komentar